Selasa, 16 Maret 2010

FISIOLOGI (FAAL) ANTI DIURETIC HORMONE (ADH)

FISIOLOGY

KELENJAR HIPOFISIS POSTERIOR dan HUBUNGANNYA DENGAN HIPOTALAMUS

Kelenjar hipofisis posterior, yang juga disebut neurohipófisis, terutama terdiri dari sel-sel seperti glia yang disebut pituisit. Pituisit ini tidak menyekresikan hormon; sel ini hanya bekerja sebagai struktur penunjang bagi banyak sekali serabut saraf terminal dan Ujung saraf terminal dari jaras saraf yang berasal dari nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular di hipotalamus. Jaras saraf ini berjalan menuju ke neurohipófisis melalui tangkai hipofisis (tangkai pituitary). Bagian akhir saraf ini merupakan kenop bulbosa yang mengandung banyak granula sekretorik. Bagian Ujung ini terletak pada permukaan kapiler, tempat granula tersebut menyekresikan 2 hormon hipofisis posterior : (1) hormon antidiuretik (ADH), juga disebut sebagai vasopressin, dan (2) oksitosin.
Bila tangkai hipofisis dipotong di atas kelenjar hipofisis tetapi seluruh hipotalamusnya dibiarkan untuh, hormon hipofisis posterior akan terus disekresikan secara normal, sesudah mengalami penurunan sekresi sementara selama beberapa hari; kemudian hormon-hormon tersebut disekresikan oleh ujung serabut yang terpotong yang terletak di dalam hipotalamus dan bukan oleh bagian akhir saraf yang terletak di dalam kelenjar hipofisis posterior. Hal ini terjadi karena pada awalnya hormon disintesis di dalam badan sel nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular dan kemudian bergabung dengan proteína “pembawa” yang disebut neurofisin akan diangkut ke Ujung saraf di dalam kelenjar hipofisis posterior, dan untuk dapat mencapai kelenjar itu dibutuhkan waktu beberapa hari.
ADH dibentuk terutama di dalam nukleus supraoptik, sedangkan oksitosin dibentuk terutama di dalam nukleus paraventrikular. Masing-masing nukleus ini dapat mensintesis hormon kedua kira-kira seperenam dari hormon primernya.
Bila impuls saraf dijalarkan sepanjang serabut yang berjalan dari nukleus supraoptik atau nukleus paraventrikel, hormon segera dilepaskan dari granula sekretorik di ujung saraf melalui mekanisme sekresi yang biasa, yakni dengan cara eksositosis, dan akan diabsorbsi oleh kapiler di dekatnya. Neurofisin dan hormon disekresi secara bersamaan, namun karena keduanya berikatan secara longgar, keduanya hampir dengan segera terpisar. Belum diketahui apa fungsi neurofisin setelah meninggalkan ujung saraf.

STRUKTUR KIMIA ADH dan OKSITOSIN

Oksitosin dan ADH (vasopressin) merupakan polipeptida yang mengandung sembilan asam amino. Rangkaian asam aminonya adalah sebagai berikut :
  1. Vasopressin : Cys-Tyr-Phe-Gln-Asn-Cys-Pro-Arg-GlyNH2
  2. Oksitosin : Cys-Tyr-Ile-Gln-Asn-Cys-Pro-Leu-GlyNH2
Perhatikan bahwa kedua hormon ini hampir identik kecuali pada vasopressin, fenilalanin dan arginin menggantikan isoleusin dan leusin pada molekul oksitosin. Kesamaan kedua molekul ini menjelaskan kesamaan sebagian fungsi keduanya.



HORMON OKSITOSIN

Oksitosin menyebabkan kontraksi pada uterus yang hamil
Hormon oksitosin, sesuai dengan namanya, sangat kuat merangsang uterus yang hamil, terutama pada akhir kehamilan. Oleh karena itu, banyak ahli kebidanan yang meyakini bahwa hormon ini setidaknya berperan sebagian dalam persalinan bayi. Hal ini ditunjang dengan fakta-fakta berikut : (1) pada hewan yang hipofisisnya telah dipotong (hipofisektomi), lama waktu persalinannya memanjang, menunjukkan adanya kemungkinan efek oksitosin selama proses pelahiran. (2) jumlah oksitosin dalam plasma meningkat selama persalinan, terutama pada akhir persalinan. (3) perangsangan serviks pada hewan yang hamil membangkitkan sinyal saraf yang berjalan menuju hipotalamus dan menyebabkan peningkatan sekresi oksitosin.

Oksitosin membantu pengeluaran air susu melalui payudara
Oksitosin juga berperan sangat penting dalam proses laktasi – suatu peran yang jauh lebih dipahami daripada peran oksitosin dalam persalinan. Pada saat laktasi, oksitosin menyebabkan timbulnya pengiriman air susu dari alveoli ke duktus payudara sehingga dapat diisap oleh bayi.
Mekanismenya adalah sebagai berikut : stimulus isapan pada puting susu menimbulkan sinyal yang dijalarkan melalui saraf sensorik ke neuron oksitosin yang ada di dalam nukleus paraventrikular dan supraoptik di hipotalamus, yang menyebabkan timbulnya pelepasan oksitosin diangkut oleh kelenjar hipofisis posterior. Selanjutnya oksitosin diangkut oleh darah ke payudara untuk menimbulkan kontraksi sel mioepitel yang teletak di luar dan untuk membentuk kisi-kisi di sekitar alveoli kelenjar payudara. Dalam waktu kurang dari 1 menit sesudah pengisapan dimulai, air susu mulai mengalir. Mekanisme ini disebut sebagai pengaliran susu (milk letdown) atau ejeksi susu (milk ejection).

HORMON ADH

Fungsi Fisiologis ADH

Penyunyikan sejumlah ADH yang sangat sedikit – sebesar 2 nanogram – dapat menyebabkan berkurangnya ekskresi air oleh ginjal (antidiuresis). Singkatnya, bila hormon ADH ini tidak ada, maka tubulus dan duktus koligentes hampir tidak permeabel terhadap air, sehingga mencegah reabsorbsi air dalam jumlah yang signifikan dan karena itu mempermudah keluarnya air yang sangat banyak ke dalam urin, yang juga menyebabkan urin menjadi sangat encer. Sebaliknya, bila ada ADH, maka permeabilitas tubulus dan duktus koligentes terhadap air sangat meningkat dan menyebabkan sebagian besar air direabsorbsi sewaktu cairan tubulus melewati duktus koligentes, sehingga air yang disimpan dalam tubuh akan lebih banyak dan menghasilkan urin yang sangat pekat.
Mekanisme yang tepat mengenai kerja ADH pada duktus untuk meningkatkan permeabilitas duktus koligentes hanya diketahui sebagian. Tanpa ADH, membran luminal sel epitel tubulus pada duktus koligentes hampir tidak permeabel terhadap air. Akan tetapi, di dalam membran sel, terdapat sejumlah besar vesikel khusus yang mempunyai pori-pori yang sangat permeabel terhadap air, yang disebut aquaporin. Bila ADH bekerja pada sel, ADH mula-mula akan bergabung dengan reseptor membran yang mengaktifkan adenilil siklase dan menyebabkan pembentukan cAMP di dalam sitoplasma sel tubulus. cAMP ini menyebabkan fosforilasi elemen di dalam vesikel khusus, yang kemudian menyebabkan vesikel masuk ke dalam membran sel apikal, sehingga menyediakan banyak daerah yang bersifat permeabel terhadap air. Semua proses ini terjadi dalam waktu 5 sampai 10 menit. Kemudian, bila tidak ada ADH, seluruh proses berbalik dalam waktu 5 sampai 10 menit berikutnya. Jadi, proses ini secara sementara menyediakan banyak pori baru yang mempermudah difusi bebas air dari cairan tubulus melewati sel epitel tubulus dan masuk ke dalam cairan interstisial ginjal. Kemudian air diabsorbsi dari tubulus dan duktus koligentes dengan cara osmosis.

Pengaturan produksi ADH

Pengaturan osmosis
Bila larutan elektrolit yang pekat disuntikan ke dalam arteri yang menyuplai hipotalamus, neuron ADH yang terdapat di dalam nukleus supraoptik dan paraventrikular segera menjalarkan impuls ke kelenjar hipofisis posterior agar melepaskan banyak ADH ke dalam sirkulasi darah, kadang-kadang peningkatan sekresi ADH dapat mencapai 20 kali dari normal. Sebalikanya, penyuntikan larutan encer ke dalam arteri akan menyebabkan penghentian impuls sehingga sekresi ADH hampir terhenti sama sekali. Jadi, dalam waktu beberapa menit saja, konsentrasi ADH dalam cairan tubuh dapat berubah dari sedikit menjadi banyak atau sebaliknya.
Cara pengaturan sekresi ADH oleh konsentrasi osmotik cairan ekstrasel masih belum diketahui secara tepat. Namun, di suatu tempat di hipotalamus atau di dekat hipotalamus, terdapat reseptor neuron yang sudah dimodifikasi yang disebut osmoreseptor.  Bila cairan ekstrasel menjadi terlalu pekat, cairan akan ditarik dengan cara osmosis keluar dari sel osmoreseptor, sehingga ukurannya berkurang dan menimbulkan sinyal saraf yang tepat di dalam hipotalamus agar menghasilkan sekresi ADH tambahan. Sebaliknya, bila cairan ekstrasel menjadi terlalu encer, air bergerak dengan cara osmosis ke arah yang berlawanan, yaitu masuk ke dalam sel, dan menurunkan sinyal untuk sekresi ADH. Walaupun beberapa peneliti meyakini letak osmoreseptor di dalam hipotalamus itu sendiri (bahkan mungkin di dalam nukleus supraoptik sendiri), peneliti lainnya meyakini bahwa osmoreseptor terletak di organum vaskulosum, suatu struktur kaya pembuluh darah yang terletak di ventrikel ketiga pada dinding anteroventralnya.
Tanpa menghiraukan mekanismenya, cairan tubuh yang pekat akan merangsang nukleus supraoptik, sedangkan cairan tubuh yang encer akan menghambatnya, terdapat sistem pengaturan umpan balik yang dapat mengatur tekanan osmotik total cairan tubuh.

Zat Vasokonstriktor

Vasopressin yang juga disebut hormone antidiuretik, bahkan lebih kuat daripada angiotensin II sebagai vasokonstriktor, sehingga menjadikannya sebagai salah satu zat vasokonstriktor terkuat tubuh. Zat ini dibentuk di sel saraf di dalam hipotalamus otak namun kemudian diangkut ke bawah oleh akson saraf ke kelenjar hipofise posterior tempat zat tersebut berada yang akhirnya disekresi ke dalam darah.
Jelaslah bahwa vasopressin dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap fungsi sirkulasi. Namun, dalam keadaan normal, hanya sejumlah kecil vasopressin yang disekresikan, sehingga banyak ahli faal menganggap bahwa vasopressin berperan kecil dalam pengaturan vascular. Akan tetapi, beberapa percobaan telah memperlihatkan bahwa konsentrasi vasopressin dalam sirkulasi darah setelah terjadinya perdarahan hebat dapat meningkat cukup tinggi untuk meningkatkan tekanan arteri sebanyak 60 mmHg. Dalam banyak keadaan, hal tersebut dapat mengembalikan tekanan arteri mendekati normal.
Vasopressin memiliki fungsi utama meningkatkan reabsorbsi air dari tubulus renal kembali ke dalam darah, dan karena itu akan membantu mengatur volume cairan tubuh. Hal tersebut merupakan alas an vasopressin mendapat sebutan lain sebagai hormone antidiuretik.

Efek vasokonstriktor dan penekan dari ADH, dan peningkatan sekresi ADH yang disebabkan oleh volume darah yang rendah
Karena dengan konsentrasi ADH yang sangat kecil saja dapat menyebabkan peningkatan penahanan air oleh ginjal, konsentrasi ADH yang lebih tinggi mempunyai efek yang kuat untuk menyebabkan konstriksi arteriol di seluruh tubuh sehingga meningkatkan tekanan arteri. Karena alasan inilah, ADH mempunyai nama lain, yaitu vasopressin.
Salah satu rangsangan yang menyebabkan sekresi ADH menjadi kuat adalah penurunan volume darah. Keadaan ini terjadi secara hebat terutama saat volume darah turun 15 sampai 25 persen, atau lebih; kecepatan sekresi kadang-kadang meningkat sampai 50 kali dari normal. Penyebabnya adalah sebagai berikut.
Atrium mempunyai reseptor regangan yang dieksitasi oleh pengisian yang berlebihan. Bila reseptor regangan ini tereksitasi, reseptor akan mengirimkan sinyal ke otak agar menghambat sekresi ADH. Sebaliknya, bila reseptor tidak tereksitasi akibat pengisian yang tidak penuh, akan terjadi proses yang berlawanan, yaitu peningkatan sekresi ADH yang sangat besar. Penurunan regangan baroreseptor di daerah karotis, aorta, dan paru juga merangsang sekresi ADH.

Sel interkalatus banyak menyekresi ion hidrogen serta mereabsorbsi ion bikarbonat dan kalium
Ion hidrogen yang disekresi oleh sel interkalatus diperantai oleh mekanisme transpor hidrogen-ATPase. Hidrogen dihasilkan dalam sel-sel ini melalui kerja karbonik anhidrase terhadap air dan karbon dioksida untuk membentuk asam karbonat, yang kemudian berdisosiasi menjadi ion hidrogen dan ion bikarbonat. Ion hidrogen kemudian disekresikan ke dalam lumen tubulus, dan untuk setiap ion hidrogen yang disekresikan, tersedia sebuat ion bikarbonat untuk diresorbsi melewati membran basolateral. Sel interkalatus juga mereabsorbsi ion kalium.
Karakteristik fungsional dari bagian akhir tubulus distal dan tubulus koligentes dapat diringkas sebagai berikut :
  1. membran tubulus kedua segmen hampir seluruhnya impermeabel terhadap ureum, mirip dengan segmen pengencer pada bagian awal tubulus distal; jadi, hampir semua ureum yang memasuki segmen-segmen ini berjalan melewati dan masuk ke dalam duktus koligentes untuk diekskresikan dalam urin, walaupun beberapa reabsorbsi ureum terjadi di dalam duktus koligentes bagian medula.
  2. tubulus distal bagian akhir dan segmen tubulus koligentes kortikalis mereabsorbsi ion natrium dan kecepatan reabsorbsi ini dikontrol oleh hormon, terutama aldosteron. Pada waktu yang bersamaan, segmen ini menyekresikan ion kalium dari darah kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulusm suatu proses yang juga dikontrol oleh aldosteron dan faktor-faktor lain seperti konsentrasi ion kalium dalam cairan tubuh.
  3. sel interkalatus dari segmen-segmen nefron ini banyak menyekresikan ion hidrogen melalui mekanisme hidrogen-ATPase aktif. Proses ini berbeda dengan sekresi aktif sekunder ion hidrogen melalui tubulus proksimal, karena proses ini mampu menyekresikan ion hidrogen melawan gradien konsentrasi yang besar, sebesar 1000 terhadap 1. Hal ini kebalikan dedngan gradien ion hidrogen yang relatif kecil (4 sampai 10 kali) yang dapat dicapai melalui sekresi aktif sekunder di dalam tubulus proksimal. Jadi, sel interkalatus memainkan peranan kunci dalam regulasi asam-basa cairan tubuh.
  4. permeabilitas tubulus distal bagian akhir dan duktus koligentes kortikalis terhadap air dikontrol oleh konsentrasi ADH, yang juga disebut vasopressin. Dengan kadar ADH yang tinggi, segmen-segmen ini sesungguhnya impermeabel terhadap air. Karakteristik yang khusus ini menyediakan suatu mekanisme penting untuk pengaturan derajat pengenceran atau pemekatan urin.

Duktus koligentes medula
Walaupun duktus koligentes bagian medula mereabsorbsi kurang dari 10 persen air dan natrium yang difiltrasi, duktus ini adalah bagian terakhir dari pemprosesan urin dan, karena itu, memainkan peranan yang sangat penting dalam menentukan keluaran akhir dari air dan zat terlarut dalam urin.
Sel epitel duktus koligentes mendekati bentuk kuboid dengan permukaan yang halus dan relatif sedikit mitokondria. Ciri-ciri khusus segmen tubulus ini adalah sebagai berikut :
  1. permeabilitas duktus koligentes bagian medula terhadap air dikontrol oleh kadar ADH. Dengan kadar ADH yang tinggi, air banyak direabsorbsi ke dalam interstisium medula, sehingga mengurangi volume urin dan memekatkan sebagian besar zat terlarut dalam urin.
  2. tidak seperti tubulus koligentes kortikalis, duktus koligentes bagian medula bersifat permeabel terhadap ureum. Oleh karena itu, beberapa ureum tubulus direabsorbsi ke dalam interstisium medula, membantu meningkatkan osmolalitas daerah ginjal ini dan turut berperan pada seluruh kemampuan ginjal untuk membentuk urin yang pekat.
  3. duktus koligentes bagian medula mampu menyekresikan ion hidrogen melawan gradien konsentrasi yang besar, seperti yang juga terjadi dalam tubulus koligentes kortikalis. Jadi, duktus koligentes bagian medula juga memainkan peranan kunci dalam mengatur keseimbangan asam-basa.

ADH meningkatkan reabsorbsi air
Kerja ADH ginjal yang paling penting adalah meningkatkan permeabilitas air pada tubulus distal, tubulus koligentes, dan epitel duktus koligentes. Hal ini membantu tubuh untuk menyimpan air dalam keadaan seperti dehidrasi. Bila tidak ada ADH, permeabilitas tubulus distal dan duktus koligentes terhadap air menjadi rendah, menyebabkan ginjal mengeksrkresi sejumlah besar urin yang encer. Jadi, kerja ADH memegang peranan penting dalam mengontrol derajat pengenceran atau pemekatan urin.
ADH berikatan dengan reseptor V2 spesifik di bagian akhir tubulus distal, tubulus koligentes dan duktus koligentes, yang meningkatkan pembentukan cAMP dan mengaktivasi protein kinase. Kemudia kedua hal tersebut merangsang pergerakan suatu protein intrasel, yang disebut aquaporin-2 (AQP-2), ke sisi luminal membran sel.molekul-molekul AQP-2 berkelompok dan bergabung dengan membran sel melalui eksositosis untuk membentuk kanal air yang menyebabkan difusi air secara cepat melalui sel. Juga terdapat aquaporin lainnya, AQP-3 dam AQP-4. di sisi basolatera; dari membran sel yang menyediakan suatu jalur bagi air untuk keluar dari sel secara cepat, walaupun hal ini tidak diyakini diatur oleh ADH. Peningkatan kadar ADH secara kronis juga meningkatkan pembentukan AQP-2 di sel tubulus ginjal dengan merangsang transkripsi gen AQP-2. bila konsentrasi ADH menurun, molekul AQP-2 berpindah kembali ke sitoplasma sel, dengan demikian memindahkan kanal air dari membran luminal dan menurunkan permeabilitas air.

Hormon ADH mengatur konsentrasi urin

Ada suatu sistem umpan balik yang kuat untuk mengatur osmolaritas plasma dan konsentrasi natrium, yang bekerja dengan cara mengubah ekskresi air oleh ginjal dan tidak bergantung pada kecepatan ekskresi zat terlarut. Pelaku utama dari sistem umpan balik ini adalah hormon antidiuretik (ADH), yang juga disebut vasopressin.
Bila osmolaritas cairan tubuh meningkat di atas normal (yaitu, zat terlarut dalam cairan tubuh menjadi terlalu pekat), kelenjar hipofisis posterior akan menyekresi lebih banyak ADH, yang meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan tubulus koligentes terhadap air. Keadaan ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi air dalam jumlah besar dan penurunan volume urin, tetapi tidak mengubah kecepatan ekskresi zat terlarut oleh ginjal secara nyata.
Bila terdapat kelebihan air di dalam tubuh dan osmolaritas cairan extrasel menurun, sekresi ADH oleh hipofisis posterior akan menurun. Oleh sebab itu, permeabilitas tubulus distal dan tubulus koligentes terhadap air akan menurun, yang menghasilkan sejumlah besar urin encer. Jadi, kecepatan sekresi ADH sangat menentukan encer atau pekatnya urin yang akan dikeluarkan oleh ginjal.

Segmen akhir tubulus dan tubulus koligentes kortikalis
Pada segmen akhir tubulus distal dan tubulus koligentes kortikalis, osmolaritas cairan bergantung pada kadar ADH. Dengan kadar ADH yang tinggi, tubulus-tubulus ini sangat permeabel terhadap air, dan sejumlah air akan direabsorbsi. Akan tetapi, ureum, tidak begitu permeabel di bagian nefron ini, sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi ureum sewaktu air direabsorbsi. Keadaan ini membuat sebagian besar ureum yang dikirim ke tubulus distal dan tubulus koligentes, masuk ke dalam duktus koligentes di bagian dalam medula, dan dari tempat inilah ureum akhirnya direabsorbsi atau diekskresikan dalam urin. Bila tidak ada ADH, hanya sedikit air yang akan direabsorbsi di segmen akhir tubulus distal dan tubulus koligentes kortikalis; oleh karena itu, osmolaritas akan menurun lebih lanjut akibat reabsorbsi aktif ion yang terus menerus dari segmen-segmen tersebut.
Duktus koligentes di bagian dalam medula
Konsentrasi cairan duktus koligentes di bagian dalam medula juga bergantung pada ADH dan osmolaritas interstisium medula yang dibentuk oleh mekanisme arus balik. Dengan adanya ADH dalam jumlah besar, duktus-duktus ini sangat permeabel terhadap air, dan air berdifusi dari tubulus ke dalam interstisium hingga tercapai keseimbangan osmotik, dengan konsentrasi cairan tubulus yang kurang lebih sama dengan interstisium medula ginjal (1200-1400 mOsm/L). Jadi, saat kadar ADH tinggi, dihasilkan urin yang sangat pekat tetapi berjumlah sedikit. Kareana reabsorbsi air meningkatkan konsentrasi ureum dalam cairan tubulus dan karena duktus koligentes di bagian dalam medula memiliki pengangkut ureum yang spesifik yang sangat membantu terjadinya difusi, banyak ureum dengan kepekatan yang tinggi di duktus berdifusi keluar dari lumen tubulus masuk ke dalam interstisium medula. Absorbsi ureum ini ke dalam medula ginjal turut membantu membentuk osmolaritas interstisium medula yang tinggi dan kemampuan pemekatan ginjal yang tinggi.
Ada beberapa hal penting yang patut dipertimbangkan yang mungkin tidak jelas dalam diskusi ini. Pertama, walaupun natrium klorida adalah salah satu zat terlarut utama yang turut membentuk hiperosmolaritas interstisium medula, bila diperlukan, ginjal mampu mengeluarkan urin dengan kepekatan yang tinggi yang mengandung sedikit NaCl. Hiperosmolaritas urin pada keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi zat terlarut lain, terutama produk buangan seperti ureum dan kreatinin. Satu keadaan yang menyebabkan hal ini terjadi adalah dehidrasi yang disertai dengan asupan Na yang rendah. Asupan Na yang rendah akan merangsang pembentukan hormon angiotensin II dan aldosteron, yang bersama-sama menimbulkan reabsorbsi Na yang hebat dari tubulus sambil meninggalkan ureum dan zat terlarut lainnya untuk mempertahankan kepekatan urin yang tinggi.
Kedua, sejumlah besar urin encer dapat dikeluarkan tanpa meningkatkan pengeluaran natrium. Keadaan ini dapat dicapai dengan menurunkan sekresi ADH, yang akan mengurangi reabsorbsi air di segmen tubulus yang lebih distal tanpa mengubah reabsorbsi natrium secara bermakna.
Dan akhirnya, kita harus mengingat bahwa ada volume urin yang diwajibkan, yang dihasilkan oleh kemampuan pemekatan maksimum ginjal dan jumlah zat terlarut yang harus diekskresikan. Oleh karena itu, jika sejumlah besar zat terlarut harus diekskresikan, zat tersebut harus disertai dengan jumlah air minimal yang diperlukan untuk mengeluarkan zat-zat tersebut.

Gangguan kemampuan pemekatan urin

Gangguan kemampuan ginjal untuk memekatkan atau mengencerkan urin dengan tepat dapat terjadi pada satu atau lebih dari abnormalitas berikut ini :
  1. sekresi ADH yang tidak tepat. Sekresi ADH yang terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menghasilkan pengaturan cairan yang abnormal oleh ginjal.
  2. kerusakan mekanisme arus balik. Hiperosmotik interstisium medula dibutuhkan untuk kemampuan pemekatan urin yang maksimal. Tidak peduli banyaknya ADH yang tersedia, kepekatan urin maksimal dibatasi oleh derajat hiperosmolaritas interstisium medula
  3. ketidakmampuan tubulus distal, tubulus koligentes dan duktus koligentes untuk berespon terhadap ADH.

Sistem umpan balik osmoreseptor-ADH

Bila osmolaritas (konsentrasi natrium plasma) meningkat di atas normal akibat kekurangan air, sistem umpan balik ini akan bekerja sebagai berikut :
  1. peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (yang secara praktis berarti peningkatan konsentrasi natrium plasma) menyebabkan sel saraf khusus yang disebut sel osmoreseptor, yang terletak di hipotalamus anterior dekat nukleus supraoptik, mengkerut
  2. pengkerutan sel osmoreseptor menyebabkan sel tersebut terangsang, yang akan mengirimkan sinyal saraf ke sel saraf tambahan di nukleus supraoptik, yang kemudian meneruskan sinyal ini menyusuri tangkai kelenjar hipofise ke hipofisis posterior.
  3. potensial aksi yang disalurkan ke hipofisis posterior akan merangsang pelepasan ADH, yang disimpan dalam granula sekretorik (atau vesikel) di ujung saraf.
  4. ADH memasuki aliran darah dan ditranspor ke ginjal, tempat ADH meningkatkan permeabilitas di bagian akhir tubulus distal, tubulus koligentes kortikalis dan duktus koligentes medula.
  5. peningkatan permeabilitas air di segmen nefron distal menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan ekskresi sejumlah kecil urin yang pekat.

Jadi, air disimpan dalam tubuh sedangkan natrium dan zat terlarut lainnya terus dikeluarkan dalam urin. Hal ini menyebabkan pengenceran zat terlarut dalam cairan ekstrasel, yang akan memperbaiki kepekatan cairan ekstrasel mula-mula yang berlebihan.
Terjadi serangkaian kejadian yang berlawanan saat cairan ekstrasel menjadi terlalu encer (hipo-osmotik). Contohnya, pada asupan air yang berlebihan dan penurunan osmolaritas cairan ekstrasel, lebih sedikit ADH yang terbentuk, lalu tubulus ginjal mengurangi permeabilitasnya terhadap air, sehingga lebih sedikit air yang direabsorbsi, dan sejumlah besar urin encer dibentuk. Hal tersebut kemudian memekatkan cairan tubuh dan mengembalikan osmolaritas plasma kembali ke nilai normal.

Sintesis ADH di nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular hipotalamus dan pelepasan ADH dari hipofisis posterior

Hipotalamus terdiri dari 2 jenis neuron-neuron magnosel (besar) yang mengsintesis ADH di nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular hipotalamus, kira-kira sebanyak lima perenam di nukleus supraoptik dan seperenam di nukleus paraventrikular. Kedua nukleus ini mempunyai perpanjangan akson sampai ke hipofisis posterior. Setelah disintesis, ADH ditranspor melalui akson-akson neuron ke bagian ujungnya, yang berakhir di kelenjar hipofisis posterior. Bila nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular dirangsang oleh peningkatan osmolaritas atau faktor lain, impuls saraf berjalan ke bagian ujung saraf ini, yang akan mengubah permeabilitas membrannya dan meningkatkan pemasukan kalsium. ADH yang disimpan dalam granula sekretorik (juga disebut vesikel) pada ujung-ujung saraf dilepaskan sebagai respons terhadap peningkatan pemasukan kalsium. ADH yang dilepaskan kemudian dibawa dalam kapiler darah hipofisis posterior ke dalam sirkulasi sistemik.
Sekresi ADH sebagai respons terhadap rangsangan osmotik sifatnya cepat, sehingga kadar ADH plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dalam beberapa menit. Oleh sebab itu, sekresi ADH merupakan suatu cara cepat untuk menghambat ekskresi air oleh ginjal.
Area neuronal kedua yang penting dalam mengontrol osmolaritas dan sekresi ADH terletak di sepanjang regio anteroventral ketiga, yang disebut regio AV3V. Pada bagian atas regio ini terdapat suatu struktur yang disebut organ subfornikal, dan pada bagian inferior terdapat struktur lain yang disebut organum vaskulosum lamuna terminalis. Di antara kedua organ ini terdapat nukleus preoptik median, yang mempunyai banyak sambungan saraf dengan kedua organ sebagaimana halnya dengan nukleus supraoptik dan pusat pengaturan tekanan darah di medula otak. Lesi pada regio AV3V menyebabkan berbagai defisit dalam pengontrolan sekresi ADH, rasa haus, keinginan natrium (sodium appetite), dan tekanan darah. Rangsangan listrik pada daerah ini atau rangsangan oleh angiotensin II dapat mengubah sekresi ADH, rasa haus, dan rangsangan natrium.
Di sekitar daerah AV3V dan nukleus supraoptik terdapat sel-sel neuronal yang dirangsang oleh sedikit peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel; oleh sebab itu, istilah osmoreseptor telah digunakan untuk menjelaskan neuron-neuron ini. Sel-sel ini mengirim sinyal saraf ke nukleus supraoptik untuk mengontrol perangsangannya dan sekresi ADH. Sel-sel tersebut agaknya juga menginduksi rasa haus sebagai respons terhadap peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel.
Organ subfornikal dan organum vaskulosum lamina terminalis memiliki pembuluh darah yang tidak memiliki sawar darah otak, yang menghalangi difusi sebagaina besar ion dari darah ke dalam jaringan otak. Hal ini membuat ion dan zat terlarut lainnya dapat melintas antara darah dan cairan interstisial setempat di sekitar daerah ini. Akibatnya, osmoreseptor dengan cepat berespons terhadap perubahan osmolaritas cairan ekstrasel, yang memberi pengaruh besar terhadap sekresi ADH dan rasa haus.

Stimulasi refleks kardiovaskular terhadap pelepasan ADH dengan menurunkan tekanan arteri dan/atau menurunkan volume darah

Pelepasan ADH juga dikontrol oleh refleks-refleks kardiovaskular yang berespons terhadap penurunan tekenan darah dan/atau volume darah, meliputi refleks baroreseptor arterial dan refleks kardiopulmonal. Jalur refleks ini berasal dari daerah sirkulasi bertekanan tinggi, seperti arkus aorta dan sinus karotikus, dan dari daerah bertekanan rendah, terutama di atrium jantung. Rangsangan aferen dibawa oleh nervus vagus dan nervus glosofaringeus dengan sinaps-sinaps di nukleus traktus solitarius. Tonjolan dari nukleus ini meneruskan sinyal ke nukleus hipotalamik yang mengatur sintesis dan sekresi ADH.
Jadi, selain untuk meningkatkan osmolaritas, 2 stimulus berikut dapat meningkatkan sekresi ADH yaitu penurunan tekanan arteri dan penurunan volume darah. Kapanpun tekanan darah dan volume darah berkurang, seperti yang terjadi selama perdarahan, peningkatan sekresi ADH akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi cairan oleh ginjal, yang membantu mengembalikan tekanan darah dan volume darah ke keadaan normal.

Stimulasi lain untuk sekresi ADH

Sekresi ADH dapat juga ditingkatkan atau diturunkan oleh stimulus lain terhadap sistem saraf pusat dan oleh berbagai obat dan hormon. Misalnya nausea adalah stimulus yang kuat untuk pelepasan ADH, yang dapat meningkat sampai sebanyak 100 kali normal setelah muntah. Juga, obat-obatan seperti nikotin dan morfin merangsang pelepasan ADH, sedangkan beberapa obat, seperti alkohol, menghambat pelepasan ADH. Diuresis berat yang terjadi setelah meminum alkohol sebagian diakibatkan oleh hambatan pelepasan ADH.

Peranan rasa haus dalam mengatur osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium

Ginjal meminimalkan kehilangan cairan selama terjadi kekurangan air, melalui sistem umpan balik osmoreseptor-ADH. Akan tetapi, asupan cairan yang adekuat diperlukan untuk mengimbangi kehilangan cairan yang terjadi melalui keringat dan napas serta melalui saluran pencernaan. Asupan cairan diatur oleh mekanisme rasa haus, yang, bersama dengan mekanisme osmoreseptor-ADH, mempertahankan kontrol osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium secara tepat.
Banyak faktor yang sama yang merangsang sekresi ADH juga akan meningkatkan rasa haus, yang didefinisikan sebagai keinginan sadar terhadap air.

Pusat rasa haus di sistem saraf pusat

Daerah yang sama di sepanjang dinding anteroventral dari ventrikel ketiga yang meningkatkan pelepasan ADH juga merangsang rasa haus. Terdapat suatu daerah kecil yang terletak anterolateral dari nukleus preoptik, yang bila distimulasi secara listrik, menyebabkan kegiatan minum dengan segera dan berlanjut selama rangsangan berlangsung. Semua daerah ini bersama-sama disebut pusat rasa haus.
Neuron-neuron di pusat rasa haus memberi respon terhadap penyuntikan larutan garam hipertonik dengan cara merangsang perilaku minum. Sel-sel ini hampir berfungsi sebagai osmoreseptor untuk mengaktivasi mekanisme rasa haus, dengan cara yang sama saat osmoreseptor merangsang pelepasan ADH.
Peningkatan osmolaritas cairan serebrospinal di ventrikel ketiga memberi pengaruh yang pada dasarnya sama, yaitu menimbulkan keinginan untuk minum. Organum vaskulosum lamina terminalis yang terletak tepat di bawah permukaan ventrikel pada ujung inferior daerah AV3V, agaknya ikut memperantarai respons tersebut.

Stimulus terhadap rasa haus

Salah satu yang terpenting beberapa stimulus rasa haus yang diketahui adalah peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel, yang menyebabkan dehidrasi intrasel di pusat rasa haus, yang akan merangsang sensasi rasa haus. Kegunaan respon ini sangat jelas : membantu mengencerkan cairan ekstrasel dan mengembalikan osmolaritas ke keadaan normal.
Penurunan volume cairan ekstrasel dan tekanan arteri juga merangsang rasa haus melalui suatu jalur yang tidak bergantung pada jalur yang distimulasi oleh peningkatan osmolaritas plasma. Jadi, kehilangan volume darah melalui perdarahan akan merangsang rasa haus walaupun mungkin tidak terjadi perubahan osmolaritas plasma. Hal ini mungkin terjadi akibat input netral dari baroreseptor kardiopulmonal dan baroreseptor arteri sistemik di sirkulasi.
Stimulus rasa haus ketiga yang penting adalah angiotensin II. Penelitian terhadap binatang telah menunjukkan bahwa angiotensin II bekerja pada organ subfornikal dan pada organum vaskulosum lamina terminalis. Daerah-daerah ini berada di sisi luar sawar otak, dan peptida-peptida seperti angiotensin II berdifusi ke dalam jaringan. Karena angiotensin II juga distimulasi oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan hipovolemia dan tekanan darah rendah, pengaruhnya pada rasa haus membantu memulihkan volume darah dan tekanan darah kembali normal, bersama dengan kerja lain dari angiotensin II pada ginjal untuk menurunkan ekskresi cairan.
Kekeringan pada mulut dan membran mukosa eksofagus dapat mendatangkan sensasi rasa haus. Akibatnya, seseorang yang kehausan dapat segera melepaskan dahaganya setelah dia minum air, walaupun air tersebut belum diabsorbsi dari saluran pencernaan dan belum memberi efek terhadap osmolaritas cairan ekstrasel.
Stimulus gastrointestinal dan faring memengaruhi timbulnya rasa haus. Contohnya, pada binatang yang memiliki esofagus ke arah eksterior, sehingga air tidak pernah diabsorbsi ke dalam darah, kelegaan yang terjadi setelah minum hanya bersifat sebagian, walaupun kelegaan itu bersifat sementara. Distensi saluran pencernaan juga dapat sedikit mengurangi rasa haus; contohnya, peniupan sebuah balon dalam lambung dapat menghilangkan rasa haus. Akan tetapi, penurunan sensasi rasa haus melalui mekanisme gastrointestinal atau faringeal hanya bertahan singkat; keinginan untuk minum hanya dapat dipuaskan sepenuhnya bila osmolaritas plasma dan/atau volume darah kembali normal.
Kemampuan binatang dan manusia untuk ”mengukur” asupan cairan sangat penting karena dapat mencegah hidrasi yang berlebihan. Setelah seseorang minum air, mungkin dibutuhkan waktu 30 sampai 60 menit agar air direabsorbsi dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Bila sensasi rasa haus tidak hilang sebagian setelah minum air, orang tersebut akan terus minum lebih banyak lagi, yang akhirnya menimbulkan hidrasi dan pengenceran cairan tubuh yang berlebihan. Penelitian dan percobaan yang berulang kali menunjukan bahwa binatang meminum jumlah air yang hampir sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan untuk mengembalikan osmolaritas dan volume plasma ke keadaan normal.

Respon osmoreseptor-ADH dan mekanisme rasa haus yang terintegrasi dalam pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium

Pada seseorang yang sehat, mekanisme osmoreseptor-ADH dan rasa haus bekerja secara paralel untuk mengatur osmolaritas cairan ekstrasel dan konsentrasi natrium dengan tepat, walaupun rangsangan dehidrasi bersifat konstan. Bahkan dengan perangsangan tambahan, seperti konsumsi garam tinggi, sistem umpan balik ini mampu mempertahankan osmolaritas plasma agar tetap konstan. Peningkatan asupan natrium sampai setinggi 6 x normal hanya memberi sedikit pengaruh terhadap konsentrasi natrium plasma selama mekanisme rasa haus dan ADH berfungsi normal.
Bila mekanisme ADH atau mekanisme rasa haus gagal, mekanisme yang lain biasanya masih dapat mengatur osmolaritas ekstrasel dan konsentrasi natrium dengan efektivitas yang memadai, selama tersedia asupan cairan yang cukup untuk mengimbangi volume urin harian dan kehilangan air melalui pernapasan, keringat atau saluran pencernaan. Akan tetapi, bila mekanisme ADH dan rasa haus gagal secara bersamaan, konsentrasi natrium dan osmolaritas plasma tidak dapat dikontrol dengan baik; jadi, bila asupan natrium meningkat setelah menghambat sistem ADH-rasa haus, terjadi perubahan konsentrasi natrium plasma yang relatif besar, dalam keadaan tidak adanya mekanisme ADH-rasa haus, tidak ada mekanisme umpan balik lain yang mampu mengatur konsentrasi natrium dan osmolaritas plasma secara adekuat.

DIABETES MELLITUS (PATHOGENESIS AND PATHOPHYSIOLOGY)

Patogenesis dan Patofisiologi Diabetes Mellitus
Tubuh manusia membutuhkan energi agar dapat berfungsi dengan baik. Energi tersebut diperoleh dari hasil pengolahan makanan melalui proses pencernaan di usus. Di dalam saluran pencernaan itu, makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan tersebut. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi menjadi asam amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan tersebut akan diserap oleh usus kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan akan diedarkan ke seluruh tubuh untuk dipergunakan sebagai bahan bakar. Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan sangat penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan baker. Pengeluaran insulin tergantung pada kadar glukosa dalam darah. Kadar glukosa darah sebesar > 70 mg/dl akan menstimulasi sintesa insulin. Insulin yang diterima oleh reseptor pada sel target, akan mengaktivasi tyrosin kinase dimana akan terjadi aktivasi sintesa protein, glikogen, lipogenesis dan meningkatkan transport glukosa ke dalam otot skelet dan jaringan adipose dengan bantuan transporter glukosa (GLUT 4).
a. Menurut Brunner dan Suddarth(2001), pathogenesis  DM yaitu:
1). Diabetes Tipe I
Pada diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pan-kreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiper-glikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia post prandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar : akibatnya, glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yangberlabihan diekskresikan ke urin, ekskresi ini akan disertai pengeluarancairan dan elektrolit yang berlebihan pula. Keadaan ini dinamakan dieresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan seera makan (Polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori, gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.
2). Diabetes Tipe II
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yaitu yang berhubungan dengan insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi sel resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intra sel ini. Dengan demikian insuliin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini ter-jadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.

Manifestasi klinik
Menurut Price (1995) manifestasi klinis dari DM adalah sebagai berikut :
DM tidak tergantung insulin / DM Tipe II
Penderita mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, pada hiperglikemia yang lebih berat, mungkin memperlihatkan polidipsi, poliuri, lemah, dan somnolen, biasanya tidak mengalami ketoasidosis, kalau hiperglikemia berat dan tidak respon terhadap terapi diet mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya. Kadar insulin sendiri mungkin berkurang normal atau mungkin meninggi tetapi tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen.

Pada DM tipe II, kelainan terletak di beberapa tempat :
Sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup, tetapi terdapat keterlambatan, sehingga glukosa sudah diabsorpsi masuk darah tapi insulin belum memadai.
·         Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang (antara 20.000 – 30.000); pada obesitas bahkan hanya sekitar 20.000.
·         Jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek, sehingga insulin tidak efektif.
·         Terdapat kelainan di pasca reseptor, sehingga proses glikolisis intra seluler terganggu.
·         Adanya kelainan campuran di antara no 1,2,3 dan 4

Patogenesis DM Tipe 2
Pada DM Tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel kurang. Reseptor insulin ini diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan glukosa dan glukosa di dalam darah akan meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada DM Tipe 1. Perbedaanya adalah DM Tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi,juga kadar insulin tinggi atau normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin.
Faktor-faktor yang banyak berperan sebagai penyebab resistensi insulin:
1. Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
2. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
3. Kurang gerak badan
4. Faktor keturunan (herediter)
Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 mempunyai dua efek fisiologis. Sekresi insulin abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran. Ada tiga fase normalitas. Pertama glukosa plasma tetap normal meskipun terlihat resistensi urin karena kadar insulin meningkat. Kedua, resistensi insulin cenderung menurun sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa bentuk hiperglikemia.
Pada diabetes mellitus tipe 2, jumlah insulin normal, malah mungkin banyak, tetapi jumlah reseptor pada permukaan sel yang kurang. Dengan demikian, pada DM tipe 2 selain kadar glukosa yang tinggi, terdapat kadar insulin yang tinggi atau normal. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin. Penyebab resistensi insulin sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor berikut ini turut berperan :
Baik pada DM tipe 1 atau 2, jika kadar glukosa dalam darah melebihi ambang batas ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui urine.
Komplikasi kronis :
·         Microangiopathy
ü Retinopathy diabeticum yang disebabkan karena kerusakan pembuluh darah retina. Ada dua klasifikasi dari retinopathy yaitu non-proliferative dan proliferative.
ü Nephropathy diabeticum yang ditandai dengan ditemukannya kadar protein yang tinggi dalam urine. Hal ini disebabkan adanya kerusakan pada glomerolus berupa penebalan glomerolus pada awalnya. Diabetic nephropathy merupakan faktor resiko dari gagal ginjal kronik.
ü Neuropathy diabeticum biasanya ditandai dengan hilangnya rasa sensorik terutama bagian distal diikuti dengan hilangnya reflex. Selain itu bisa juga terjadi poliradiculopathy diabeticum yang merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan pada satu atau lebih akar saraf dan dapat disertai dengan kelemahan motorik. Biasanya self-limited dalam waktu 6-12 bulan.
·         Macroangiopathy
ü Coronary heart disease, dimana berawal dari berbagai bentuk dislipidemia, yaitu hipertrigliseridemia dan penurunan kadar HDL. Pada DM sendiri tidak meningkatkan kadar LDL, namun sedikit partikel LDL pada DM tipe 2 sangat bersifat atherogenik karena mudah mengalami glikasilasi dan oksidasi.
ü Cerebrovascular disease
ü Peripheral vascular disease dengan tanda klinis:
· Nyeri kaki bila berjalan dan hilang bila beristirahat.
· Perubahan warna pada kaki
· Nyeri otot pada kaki
· Kaki terasa dingin
· Kaki terlihat membiru (sianosis)
· Pulsasi lemah atau hilang

Patofisiologi.
Penyakit diabetes membuat gangguan/komplikasi melalui kerusakan pada pembuluh darah di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik. Penyakit ini berjalan kronis dan terbagi dua yaitu gangguan pada pembuluh darah besar (makrovaskular) disebut makroangiopati, dan pada pembuluh darah halus (mikrovaskular) disebut mikroangiopati. Bila yang terkena pembuluh darah di otak timbul stroke, bila pada mata terjadi kebutaan, pada jantung penyakit jantung koroner yang dapat berakibat serangan jantung/infark jantung, pada ginjal menjadi penyakit ginjal kronik sampai gagal ginjal tahap akhir sehingga harus cuci darah atau transplantasi. Bila pada kaki timbul luka yang sukar sembuh sampai menjadi busuk (gangren). Selain itu bila saraf yang terkena timbul neuropati diabetik, sehingga ada bagian yang tidak berasa apa-apa/mati rasa, sekalipun tertusuk jarum /paku atau terkena benda panas.6
Kelainan tungkai bawah karena diabetes disebabkan adanya gangguan pembuluh darah, gangguan saraf, dan adanya infeksi. Pada gangguan pembuluh darah, kaki bisa terasa sakit, jika diraba terasa dingin, jika ada luka sukar sembuh karena aliran darah ke bagian tersebut sudah berkurang. Pemeriksaan nadi pada kaki sukar diraba, kulit tampak pucat atau kebiru-biruan, kemudian pada akhirnya dapat menjadi gangren/jaringan busuk, kemudian terinfeksi dan kuman tumbuh subur, hal ini akan membahayakan pasien karena infeksi bisa menjalar ke seluruh tubuh (sepsis). Bila terjadi gangguan saraf, disebut neuropati diabetik dapat timbul gangguan rasa (sensorik) baal, kurang berasa sampai mati rasa. Selain itu gangguan motorik, timbul kelemahan otot, otot mengecil, kram otot, mudah lelah. Kaki yang tidak berasa akan berbahaya karena bila menginjak benda tajam tidak akan dirasa padahal telah timbul luka, ditambah dengan mudahnya terjadi infeksi. Kalau sudah gangren, kaki harus dipotong di atas bagian yang membusuk tersebut.6
Gangren diabetik merupakan dampak jangka lama arteriosclerosis dan emboli trombus kecil. Angiopati diabetik hampir selalu juga mengakibatkan neuropati perifer. Neuropati diabetik ini berupa gangguan motorik, sensorik dan autonom yang masing-masing memegang peranan pada terjadinya luka kaki. Paralisis otot kaki menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan di sendi kaki, perubahan cara berjalan, dan akan menimbulkan titik tekan baru pada telapak kaki sehingga terjadi kalus pada tempat itu.
Gambaran Klinis.
Gangren diabetik akibat mikroangiopatik disebut juga gangren panas karena walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan, dan biasanya teraba pulsasi arteri di bagian distal. Biasanya terdapat ulkus diabetik pada telapak kaki.
Proses makroangiopati menyebabkan sumbatan pembuluh darah, sedangkan secara akut emboli akan memberikan gejala klinis 5 P, yaitu:
a.Pain (nyeri).
b.Paleness (kepucatan).
c.Paresthesia (parestesia dan kesemutan).
d.Pulselessness (denyut nadi hilang).
e.Paralysis (lumpuh).
Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut pola dari Fontaine, yaitu 4 :
a.Stadium I ; asimptomatis atau gejala tidak khas (semutan atau geringgingan).
b.Stadium II ; terjadi klaudikasio intermiten.
c.Stadium III ; timbul nyeri saat istirahat.
d.Stadium IV ; berupa manifestasi kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus).
Gangguan sensorik menyebabkan mati rasa setempat dan hilangnya perlindungan terhadap trauma sehingga penderita mengalami cedera tanpa disadari. Akibatnya, kalus dapat berubah menjadi ulkus yang bila disertai dengan infeksi berkembang menjadi selulitis dan berakhir dengan gangren.4
Gangguan saraf autonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit sehingga kulit kering dan mudah mengalami luka yang sukar sembuh. Infeksi dan luka ini sukar sembuh dan mudah mengalami nekrosis akibat dari tiga faktor. Faktor pertama adalah angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi jaringan kaki kurang baik sehingga mekanisme radang jadi tidak efektif. Faktor kedua adalah lingkungan gula darah yang subur untuk perkembangan bakteri patogen. Faktor ketiga terbukanya pintas arteri-vena di subkutis, aliran nutrien akan memintas tempat infeksi di kulit.



Poluria, polidipsia dan penurunan berat badan

Kadar glukosa plasma : > 180 mg jdl---> gula akan diekskresikan ke dalam urine(glikogusria). Volume urine meningkat akibat terjadinya diuersis osmotik dan kehilangan air yang bersifat obligatorik pada saat yang bersarnaan (poliuria), kejadian ini selanjutnya akan menimbulkan dehidrasi (hiperosmolaritas), bertambahnya rasa haus dan gejala banyak minum (Polidipsia).

Glikosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar (4.'1 kal bagi setiap gram karbohidrat yang diekskresikan keluar), kehilangan ini, kalau ditambah lagi dengan deplesi jaringan otot dan adiposa, akan mengakibatkan penurunan berat badan yang hebat kendati terdapat peningkatan selera makan (polifagia) dan asupan-kalori yang normal atau meningkat.
Sintesis protein akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan keadaan ini sebagian terjadi akibat berkurangnya pengangkutan asam amino ke dalam otot (asam amino berfungsi sebagai substrat glukoneogenik). Jadi, orang yang kekurangan insulin berada dalam keseimbangan nitrogen yang negatif. Kerja antilipolisi insulin hilang seperti halnya efek lipogenik yang dimiliknya, dengan demikian, kadar asam lemak plasma akan meninggi. Kalau kemampuan hati untuk mengakosidasi asam lemak terlampaui, maka senyawa asam β hidroksibutirat dan asam asetoasetat akan bertumpuk (ketosis). Mula mula penderita dapat mengimbangi pengumpulan asam organik ini dengan meningkatan pengeluaran CO2 lewat sistem respirasi, namun bila keadaan ini tidak dikendalikan dengan pemberian insulin, maka akan terjadi asidosis metabolik dan pasien akan meninggal dalam keadaan koma diabetik.

Daftar pustaka
Corwin , Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi. EGC: Jakarta
Noer, Prof.dr.H.M. Sjaifoellah, Ilmu Penyakit Endokrin dan Metabolik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2004. Hal 571-705.


HOMEOSTASIS (KESIMBANGAN CAIRAN)

Pendahuluan
Manusia sebagai organisme multiseluler dikelilingi oleh lingkungan luar (milieu exterior) dan sel-selnya pun hidup dalam milieu interior yang berupa darah dan cairan tubuh lainnya. Cairan dalam tubuh, termasuk darah, meliputi lebih kurang 60% dari total berat badan laki-laki dewasa. Dalam cairan tubuh terlarut zat-zat makanan dan ion-ion yang diperlukan oleh sel untuk hidup, berkembang dan menjalankan tugasnya.
Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Semua pengaturan fisiologis untuk mempertahankan keadaan normal disebut homeostasis. Homeostasis ini bergantung pada kemampuan tubuh mempertahankan keseimbangan antara subtansi-subtansi yang ada di milieu interior.
Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ektrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.
Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion karbonat dalam urine sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-basa adalah paru-paru dengan mengekskresikan ion hidrogen dan CO2, dan sistem dapar (buffer) kimi dalam cairan tubuh.
Komposisi Cairan Tubuh
Telah disampaikan pada pendahuluan di atas bahwa cairan dalam tubuh meliputi lebih kurang 60% total berat badan laki-laki dewasa. Prosentase cairan tubuh ini bervariasi antara individu, sesuai dengan jenis kelamin dan umur individu tersebut. Pada wanita dewasa, cairan tubuh meliputi 50% dari total berat badan. Pada bayi dan anak-anak, prosentase ini relatif lebih besar dibandingkan orang dewasa dan lansia.
Cairan tubuh menempati kompartmen intrasel dan ekstrasel. 2/3 bagian dari cairan tubuh berada di dalam sel (cairan intrasel/CIS) dan 1/3 bagian berada di luar sel (cairan ekstrasel/CES). CES dibagi cairan intravaskuler atau plasma darah yang meliputi 20% CES atau 15% dari total berat badan; dan cairan intersisial yang mencapai 80% CES atau 5% dari total berat badan. Selain kedua kompatmen tersebut, ada kompartmen lain yang ditempati oleh cairan tubuh, yaitu cairan transel. Namun volumenya diabaikan karena kecil, yaitu cairan sendi, cairan otak, cairan perikard, liur pencernaan, dll. Ion Na+ dan Cl- terutama terdapat pada cairan ektrasel, sedangkan ion K+ di cairan intrasel. Anion protein tidak tampak dalam cairan intersisial karena jumlahnya paling sedikit dibandingkan dengan intrasel dan plasma.
Perbedaan komposisi cairan tubuh berbagai kompartmen terjadi karena adanya barier yang memisahkan mereka. Membran sel memisahkan cairan intrasel dengan cairan intersisial, sedangkan dinding kapiler memisahkan cairan intersisial dengan plasma. Dalam keadaan normal, terjadi keseimbangan susunan dan volume cairan antar kompartmen. Bila terjadi perubahan konsentrasi atau tekanan di salah satu kompartmen, maka akan terjadi perpindahan cairan atau ion antar kompartemen sehingga terjadi keseimbangan kembali.
Perpindahan Substansi Antar Kompartmen
Setiap kompartmen dipisahkan oleh barier atau membran yang membatasi mereka. Setiap zat yang akan pindah harus dapat menembus barier atau membran tersebut. Bila substansi zat tersebut dapat melalui membran, maka membran tersebut permeabel terhadap zat tersebut. Jika tidak dapat menembusnya, maka membran tersebut tidak permeabel untuk substansi tersebut. Membran disebut semipermeable (permeabel selektif) bila beberapa partikel dapat melaluinya tetapi partikel lain tidak dapat menembusnya.
Perpindahan substansi melalui membran ada yang secara aktif atau pasif. Transport aktif membutuhkan energi, sedangkan transport pasif tidak membutuhkan energi.
Difusi
Partikel (ion atau molekul) suatu substansi  yang terlarut selalu bergerak dan cenderung menyebar dari daerah yang konsentrasinya tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah sehingga konsentrasi substansi partikel tersebut merata. Perpindahan partikel seperti ini disebut difusi. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju difusi ditentukan sesuai dengan hukum Fick (Fick’s law of diffusion). Faktor-faktor tersebut adalah:
  1. Peningkatan perbedaan konsentrasi substansi.
  2. Peningkatan permeabilitas.
  3. Peningkatan luas permukaan difusi.
  4. Berat molekul substansi.
  5. Jarak yang ditempuh untuk difusi.
Osmosis
Bila suatu substansi larut dalam air, konsentrasi air dalam larutan tersebut lebih rendah dibandingkan konsentrasi air dalam larutan air murni dengan volume yang sama. Hal ini karena tempat molekul air telah ditempati oleh molekul substansi tersebut. Jadi bila konsentrasi zat yang terlarut meningkatkan, konsentrasi air akan menurun.Bila suatu larutan dipisahkan oleh suatu membran yang semipermeabel dengan larutan yang volumenya sama namun berbeda konsentrasi zat terlarut, maka terjadi perpindahan air/zat pelarut dari larutan dengan konsentrasi zat terlarut lebih tinggi. Perpindahan seperti ini disebut dengan osmosis.
Filtrasi
Filtrasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara dua ruang yang dibatasi oleh membran. Cairan akan keluar dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Jumlah cairan yang keluar sebanding dengan besar perbedaan tekanan, luas permukaan membran dan permeabilitas membran. Tekanan yang mempengaruhi filtrasi ini disebut tekanan hidrostatik.
Transport aktif
Transport aktif diperlukan untuk mengembalikan partikel yang telah berdifusi secara pasif dari daerah yang konsentrasinya rendah ke daerah yang konsentrasinya lebih tinggi. Perpindahan seperti ini membutuhkan energi (ATP) untuk melawan perbedaan konsentrasi. Contoh: Pompa Na-K.
Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.
1. Pengaturan volume cairan ekstrasel.
Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri dengan menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume plasma. Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang.
  • Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake dan output) air. Untuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus ada keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. hal ini terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh dengan lingkungan luarnya. Water turnover dibagi dalam: 1. eksternal fluid exchange, pertukaran antara tubuh dengan lingkungan luar; dan 2. Internal fluid exchange, pertukaran cairan antar pelbagai kompartmen, seperti proses filtrasi dan reabsorpsi di kapiler ginjal.
  • Memeperhatikan keseimbangan garam. Seperti halnya keseimbangan air, keseimbangan garam juga perlu dipertahankan sehingga asupan garam sama dengan keluarannya. Permasalahannya adalah seseorang hampir tidak pernah memeprthatikan jumlah garam yang ia konsumsi sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi, seseorang mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranya dan cenderung lebih dari kebutuhan. Kelebihan garam yang dikonsumsi harus diekskresikan dalam urine untuk mempertahankan keseimbangan garam.
ginjal mengontrol jumlah garam yang dieksresi dengan cara:
  1. mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate (GFR).
  2. mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal
Jumlah Na+ yang direasorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan mengontrol tekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur reabsorbsi Na+ dan retensi Na+ di tubulus distal dan collecting. Retensi Na+ meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri.Selain sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide (ANP) atau hormon atriopeptin menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi leh sel atrium jantung jika mengalami distensi peningkatan volume plasma. Penurunan reabsorbsi natrium dan air di tubulus ginjal meningkatkan eksresi urine sehingga mengembalikan volume darah kembali normal. 
2. Pengaturan Osmolaritas cairan ekstrasel.
Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam suatu larutan. semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakin rendah konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih rendah).
Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat menmbus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium menrupakan solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel. Distribusi yang tidak merata dari ion natrium dan kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam menetukan aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini.
pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan dilakukan melalui:
  • Perubahan osmolaritas di nefron
Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urine yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di dukstus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal (300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars decending sangat permeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik.
Dinding tubulus ansa henle pars acenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsobsi garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik. Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga urine yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresis (ADH).
  • Mekanisme haus dan peranan vasopresin (antidiuretic hormone/ADH)
peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (>280 mOsm) akan merangsang osmoreseptor di hypotalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron hypotalamus yang mensintesis vasopresin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalam darah dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. ikatan vasopresin dengan reseptornya di duktus koligen memicu terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks duktus koligen. Pembentukkan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urine yang terbentuk di duktus  koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap dipertahankan.
selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypotalamus akibat peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di hypotalamus sehingga terbentuk perilaku untuk membatasi haus, dan cairan di dalam tubuh kembali normal.
Pengaturan Neuroendokrin dalam Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Sebagai kesimpulan, pengaturan keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan oleh system saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit melalui baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotikus, osmoreseptor di hypotalamus, dan volume reseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan dalam sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami kekurangan cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ADH dengan meningkatkan reabsorbsi natrium dan air. Sementara, jika terjadi peningkatan volume cairan tubuh, maka hormone atriopeptin (ANP) akan meningkatkan eksresi volume natrium dan air.
perubahan volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi pada beberapa keadaan.Faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit di antaranya ialah umur, suhu lingkungan, diet, stres, dan penyakit.
Keseimbangan Asam-Basa
Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan konsentrasi ion H bebas dalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4; pH darah arteri 7,45 dan darah vena 7,35. Jika pH <7,35 dikatakan asidosi, dan jika pH darah >7,45 dikatakan alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H secara normal dan kontinyu akan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu:
  1. pembentukkan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H dan bikarbonat.
  2. katabolisme zat organik
  3. disosiasi asam organik pada metabolisme intermedia, misalnya pada metabolisme lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam ini akan berdisosiasi melepaskan ion H.
Fluktuasi konsentrasi ion H dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal sel, antara lain:
  1. perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan saraf pusat, sebaliknya pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.
  2. mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh
  3. mempengaruhi konsentrasi ion K
bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha mempertahankan ion H seperti nilai semula dengan cara:
  1. mengaktifkan sistem dapar kimia
  2. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernafasan
  3. mekasnisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan
Ada 4 sistem dapar:
  1. Dapar bikarbonat; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel terutama untuk perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat
  2. Dapar protein; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel
  3. Dapar hemoglobin; merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk perubahan asam karbonat
  4. Dapar fosfat; merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan intrasel.
sistem dapat kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa sementara. Jika dengan dapar kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akan dilanjutkan oleh paru-paru yang berespon secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam darah akinat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernafasan, kemudian mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Ginjal mampu meregulasi ketidakseimbangan ion H secara lambat dengan menskresikan ion H dan menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan amonia.
Ketidakseimbangan Asam-Basa
 Ada 4 kategori ketidakseimbangan asam-basa, yaitu:
  1. Asidosis respiratori, disebabkan oleh retensi CO2 akibat hipoventilasi. Pembentukkan H2CO3 meningkat, dan disosiasi asam ini akan meningkatkan konsentrasi ion H.
  2. Alkalosis metabolik, disebabkan oleh kehilangan CO2 yang berlebihan akibat hiperventilasi. Pembentukan H2CO3 menurun sehingga pembentukkan ion H menurun.
  3. Asidosis metabolik, asidosis yang bukan disebabkan oleh gangguan ventilasi paru, diare akut, diabetes melitus, olahraga yang terlalu berat dan asidosis uremia akibat gagal ginjal akan menyebabkan penurunan kadar bikarbonat sehingga kadar ion H bebas meningkat.
  4. Alkalosis metabolik., terjadi penurunan kadar ion H dalam plasma karena defiensi asam non-karbonat. Akibatnya konsentrasi bikarbonat meningkat. Hal ini terjadi karena kehilangan ion H karena muntah-muntah dan minum obat-obat alkalis. Hilangnyaion H akan menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk menetralisir bikarbonat, sehingga kadar bikarbonat plasma meningkat.
untuk mengkompensasi gangguan keseimbangan asam-basa tersebut, fungsi pernapasan dan ginjal sangat penting.

KESIMPULAN
Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 parameter penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garan dan mengontrol osmolaritas ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut. Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion bikarbonat dalam urine sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-basa adalah paru-paru dengan mengeksresikan ion hidrogen dan CO2 dan sistem dapar (buffer) kimia dalam cairan tubuh.


Daftar Pustaka
  • Sherwood, Lauralee. (2004). Human Physiology: From cells to system. 5th ed. California: Brooks/Cole-Thomson Learning, Inc.
  • Silverthorn, D.U. (2004). Human Physiology: An Integrated approach. 3th ed. San Fransisco: Pearson Education.